Jumat, 11 April 2008

Perlukah saya marah?

oleh
demitria dewi

T : hari ini saya sebel banget sama adik iparku yang baru datang dari kampung, tadi kumaki-maki dia, akhirnya saya ribut sama suami.
D : kenapa ?
T : masak dia makai handukku.
D : dia tahu nggak kalau handuk itu punyamu?
T : mestinya tahu…kalau bertamu mau nginep bawa handuk sendiri dong.
D : siapa tahu dia lupa bawa.
T : dasar, memang keluarga jorok…apalagi ibunya jorok banget…suamiku aja baru sekarang ini rapi setelah dapetin aku. Rumahnya aja kotor banget seperti 1 tahun tidak disapu, tetangganya di kampung juga-juga dekil-dekil.

Itu sepenggal obrolan saya dengan teman di kantor……sepintas saya sudah bisa menyimpulkan, yang pertama adalah teman saya lagi jengkel sekali dengan adiknya dan yang kedua keluarga suaminya jorok termasuk suaminya sendiri. Gara-gara “handuk”, terungkaplah cerita tentang keluarga suaminya berikut tetangganya yang dekil.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari obrolan tadi?......handuk yang mungkin tidak begitu penting, tetapi bisa mengungkap kondisi keluarga. Seandainya teman saya itu bisa berpikir jernih dan sedikit sabar, maka akan berbeda ceritanya. Masalah handuk tidak perlu diketahui oleh orang lain. Cukup teman saya menegur adiknya, lalu meminjami handuk apabila adiknya lupa membawa, selesai persoalan handuk.

Tetapi yang terjadi berbeda…sampai kantor teman saya masih menyimpan amarah, yang akhirnya dia tidak hanya marah kepada adik ipar, tetapi merembet ke orang lain : “ibu mertua”, “suami”, “tetangga” dan “kondisi rumah mertua di kampung”. Di sisi lain teman saya merasa berjasa, bisa merubah suaminya yang dulu jorok menjadi rapi. Padahal sebelumnya saya sama sekali tidak tahu kalau suaminya dulu kurang rapi.
Amarah seseorang yang gara-gara hal sepele…ternyata bisa membuat malu dirinya sendiri. Tanpa sadar seorang mengungkap kekurangan dan kejelekan keluarga, yang sebetulnya bisa dihindarkan. Bagaimana apabila amarah itu disebabkan oleh hal-hal yang lebih serius? Apa yang akan terjadi ?

Yang bisa menjadi pelajaran bagi kita dari obrolan di atas adalah “pikirkan terlebih dahulu apabila akan bertindak atau akan mengatakan sesuatu”. Apabila kita akan mengungkapkan kemarahan, harus ditujukan kepada yang memang pantas untuk menerima amarah dan kita harus “bertanya” terlebih dahulu “mengapa seseorang melakukan sesuatu” yang mungkin tidak berkenan bagi kita. Mengapa adik ipar memakai handuk teman saya? Ada beberapa kemungkinan yang menjadi alasan : 1)memang lupa membawa handuk atau 2)sudah ijin suami untuk memakai handuk tersebut atau 3)handuk itu mirip dengan miliknya. Apabila salah satu dari ketiga itu yang menjadi penyebab, maka salah besar apabila teman saya marah bahkan memaki adiknya, dan rentetan cerita tentang keluarga tidak harus terucap keluar dan harusnya tidak perlu ribut dengan suami sendiri.

Inilah yang sering terjadi dalam kehidupan kita, banyak sekali masalah besar muncul hanya karena alasan adanya masalah yang kecil, yang belum tentu bisa diterima kebenarannya. Banyak contoh kasus seperti ini, misalnya kita merasa capek karena baru saja pulang dari kantor, sampai rumah anak kita menyalakan televisi dengan suara keras, kemudian kita marah-marah kepada anak kita yang sudah seharian menunggu kepulangan kita. Contoh lain kita sedang kesal dengan pembantu di rumah, dan masalah ini terbawa sampai kantor, kemudian kita marah-marah kepada staf kantor yang hanya sedikit salah mengetik surat…

Seorang pastur di Yogyakarta penah mengatakan kepada saya : Bolehkah kita marah kepada pasangan hidup kita? Jawabnya “boleh” dengan syarat (salah satunya) : ketika akan marah minumlah air putih terlebih dahulu, biarkan di mulut dan telanlah apabila marahnya sudah selesai. Ini artinya bahwa redamlah marah dengan air putih masih di mulut, dan kita tidak perlu marah dengan kata-kata yang penuh emosi, apalagi marah kepada orang yang bukan menjadi sasaran untuk dimarahi.****demitri

Tidak ada komentar: